Hari
itu menjadi hariku yang sangat sibuk. Beberapa
anak tampak sudah siap dengan kostum sarung, baju koko dan peci
didampingi orangtuanya. Wajah mereka tampak setengah cemas setengah tegang. Hoo!
Tidak ada yang bahagia? Anak-anak ini sedang mempersiapkan diri dan hatinya
untuk memasuki babak hidup yang baru yaitu sunat. Sunat? Ya. Hari itu adalah
hari besar untuk remaja masjid di lingkunganku. Kami mengadakan sunatan massal.
Alhamdulillah diikuti oleh beberapa anak solih dari lingkungan kurang mampu dan
dhuafa yang sudah siap untuk disunat.
Jadi,
diakhir masa sekolahku ini aku mengaktifkan diri di sebuah organisasi remaja
masjid. Bersama beberapa rekan masa
kecil hingga masa kini, kami berkumpul mengadakan kegiatan di lingkungan masjid
rumah kami, sebut saja masjid Al Ikhlash namanya. Di samping gedung masjid yang megah, terdapat
sebuah bangunan kecil yang menjadi lokasi untuk kegiatan Taman Pendidikan Al
Qur’an. Namun demikian, belum ada remaja masjid yang berkiprah di sana. Adalah kami yang mulai untuk mengisinya
dengan kegiatan-kegiatan rohani untuk memakmurkan masjid.
Kami
terdiri dari beberapa remaja perempuan dan laki-laki dengan usia yang
berbeda-beda dan aktivitas keseharian yang beragam. Sebagian masih sekolah di
SMA, ada yang sudah menjadi mahasiswi hingga bekerja, bahkan ada juga yang
pengangguran. Kami semua berniat sama yaitu memakmurkan masjid.
“Hana!
Gimana? Sudah berapa anak-anak yang hadir? tanya Habibi padaku. Siapa Habibi?
Dia adalah ketua remaja masjid idolaku. Kenapa jadi idola? Panjang ceritanya.
Bisa jadi 1 buku nanti , hehehe.
“Alhamdulillah,
Bi. Sudah hampir semua hadir, ada 17 anak, tinggal satu lagi masih otewe
katanya.” jawabku sambil mengecek catatan di buku kecilku.
“Oh
syukurlah. Kamu lihat Andi? Reog nya sudah dekat nih. Sebentar lagi sampai”,
lanjutnya memberitahuku sekaligus menanyakan koordinator acara hiburan.
“Sepertinya
tadi kulihat dia sedang mengarahkan para kusir delman untuk berbaris memarkir
kuda dan delmannya di tepi luar pagar lapangan, Bi”, jawabku.
“Ok,
aku ke sana dulu. Jangan lupa ingatkan Woro untuk menyiapkan amplop hadiah buat
peserta ya!” katanya sambil berjalan menuju lapangan dan meninggalkanku di
ruang kesekretariatan. Aku bergegas mencari Woro, sang bendahara.
Begitulah,
kami mengundang kesenian daerah dari Jawa Timur yaitu Reog Ponorogo sebagai hiburan. Bukan hanya
bernilai seni atau estetika, tapi juga mengandung nilai-nilai luhur.
Nilai-nilai itu di antaranya budi pekerti mulia sebagaimana disimbolkan melalui
burung merak, keberanian membela kebenaran (harimau),
patriotisme/kepahlawanan (tari jathil), optimisme (tari pujangganong), dan
kepemimpinan (tari kelana sewandana). Dari filosofi ini, diharapkan anak-anak
yang sudah disunat akan menjadi anak solih yang memiliki nilai-nilai luhur
seperti yang digambarkan oleh kesenian reog ponorogo.
Demikian pula dengan delman dan kusirnya yang
akan ditugaskan untuk mengarak semua peserta sunatan massal hari itu. Ramai
sekali suasana hari itu di kampungku. Lapangan penuh dengan masyarakat yang
ingin menyaksikan kehebatan para seniman reog ponorogo beraksi dan memberi
semangat kepada para peserta untuk berani bersunat dengan hadiah keliling
kampung menggunakan delman yang sudah penuh dengan hiasan warna warni.
Hari
berganti, bulan dan tahun berlalu.
Proses pertemanan kami untuk saling mengenal berjalan baik. Berbagai
kegiatan kami laksanakan dengan dukungan penuh dari para sesepuh pengurus
masjid. Kami diberi kesempatan untuk
berdiskusi, rapat, merencanakan kegiatan, menyusun anggaran, melaksanakan dan
mengevaluasi.
Seiring
waktu berjalan, Habibi sang ketua remaja masjid ternyata menaruh hati padaku.
Wow ! Antara kaget, bingung, tapi bahagia juga kurasakan. Rasanya campur aduk kayak
harap-harap cemas gitu. Tahu dari mana ? Teman-temanku menyampaikan padaku.
“Hana,
dapat salam dari Habibi “
“Hana
dicariin sama Habibi “
“Hana
ditunggu sama Habibi di depan “
Hana
ini, Hana itu, dan Hana lainnya dihubung-hubungkan dengan Habibi.
Karena
Habibi sudah bekerja, sementara aku masih sekolah. Sudah dipastikan aku tidak boleh berpacaran
oleh orangtuaku. Kayaknya ingin backstreet
aja. Tahu backstreet, kan? Itu loh jalan belakang alias pacaran
ngumpet-ngumpet. Tapi aku juga tahu kalau pacaran itu tidak dibolehkan agama.
Gini-gini aku lagi belajar pakai jilbab loh. Remaja masjid gituu.
Entah
bagaimana, kami menjadi semakin dekat. Awalnya obrolan kami berkisar antara ketua
dan sekretarisnya. Lama kelamaan topik diskusi bergeser ke aktivitas kami
sehari-hari. Habibi mulai mengantar jemput aku ke kampus. Bagaimana dengan
orangtuaku ?
Tentu
saja mereka tidak secara langsung menolak. Hingga akhirnya aku lulus menjadi
sarjana, Habibi mulai memberanikan diri untuk memintaku kepada ayah ibuku. Dengan tanpa banyak kata, mereka mengingatkan
aku bahwa Habibi bukanlah sarjana, ia hanya lulusan SMA. Tidak ada tawar
menawar, walaupun rajin, ketua remaja masjid, dan sudah bekerja. Entah apa yang
ada di kepala dan hatiku saat itu. Antara harapan dan kenyataan yang tidak sejalan.
Keterbatasan pengetahuan dan pengalamanku yang memintaku untuk mencari ridho
orangtua. Titik. Hanya itu yang kupunya sebagai acuan langkahku. Saat aku tak
mendapat dukungan dari orangtuaku, perlahan Habibi mundur teratur.
Sekian
lama tak berjumpa, kami sibuk dengan urusan masing-masing, sementara
kepengurusan remaja masjid sudah mengalami regenerasi berkali-kali. Aku sibuk
berkarir dan tak memikirkan kebutuhan dan sindiran ayah bundaku untuk segera menikah.
Demikian pula dengan Habibi yang kudengar menjadi workaholic, orang yang
gila kerja dan belum menikah juga.
Menginjak
usiaku 35 tahun, akhirnya ayah bundaku menyerahkan kepadaku untuk segera
menikah dengan siapa saja laki-laki pilihanku. Saat itu aku sedang bertugas di
pulau Kalimantan, jauh dari kampungku di
Jakarta. Sementara Habibi juga ternyata sedang bertugas di pulau Sulawesi,
Makasar tepatnya. Kami berteman melalui facebook dan yahoo messenger. Entah
bagaimana awalnya, tapi obrolan kami melalui kedua sosial media itu berjalan
lancar. Mulai dari menanyakan kabar hingga ajakan untuk menikah kembali
ditawarkan oleh Habibi yang kini sudah mengantongi ijazah S2 nya.
Singkat
cerita, kami menikah dengan restu kedua orangtua kami, aku dan Habibi bisa
kembali ke kampung kami di Jakarta. Demikian cepat prosesnya, bolak balik
mengurus persiapan pernikahan Banjarmasin-Makasar dan Jakarta menjadi kisah
tersendiri bagi kami berdua sebelum akhirnya kami bisa menikah, kembali bertugas dan menetap di Jakarta.
Kami
berkeluarga dan memiliki 2 anak buah cinta kami. Azzam dan Aisyah namanya, sepasang
anak kembar laki- laki dan perempuan lucu dan imut-imut ini kini menjadi sumber
kebahagiaan akung utinya, eyang-eyangnya serta om dan tantenya.
Suatu
hari sesudah asar, Habibi yang kini menjadi suamiku memanggilku.
“Yang
sini deh, aku mau peluk boleh?”
“Apa
sih? Biasanya juga peluk-peluk aja”.
Akhirnya
kami berpelukan, lama, dalam diam. Baru kusadari kalau tubuhnya makin kurus. Ia
memelukku begitu erat dan lembut.
“Bi,
ada apa ? Ternyata badan abi sekarang kurus ya ?”
“Iya”,
jawabnya satu kata.
“Makanya
abi harus jaga makannya, abi kan punya diabetes. Dari dulu sebelum menikah abi kalau makan
baso aja harus dikasih gula pasir,” lanjutku sambil cemberut, mengingat suamiku
ini memiliki riwayat keturunan diabetes dari ibunya..
Setelah
puas memelukku, ia mencium keningku lama dan mengecup sekilas bibirku.
“Sudah,
yang, sudah. Terimakasih ya sayangku, sudah menjadi istri yang baik. Mau
menungguku sekian lama hingga akhirnya kita bisa menikah dan memiliki Azzam dan
Aisyah,” katanya tersenyum.
3
bulan kemudian suamiku wafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar